Pengertian Penggelapan Pajak
Secara
umum pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dibebankan oleh pemerintah atas pendapatan, kekayaan dan keuntungan
modal orang pribadi dan perusahaan,
serta hak milik yang tidak bergerak. Dalam konteks penerimaan dan pengeluaran negara sudah pasti pungutan pajak
tersebut berdampak langsung terhadap
sistem keuangan dan perekonomian nasional, yang pada gilirannya mempengaruhi semua aspek kehidupan Negara.
Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah upaya
penyelundupan pajak, Suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara
melanggar ketentuan perpajakan (illegal), misalnya :
•
tidak melaporkan sebagian penjualan
•
memperbesar biaya dengan cara fiktif
•
memungut pajak tetapi tidak menyetor
Penggelapan pajak mempunyai risiko terdekteksi yang inherent pula, serta
mengundang sanksi pidana badan dan denda. Tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk
meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para
pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul "hasil kejahatan"
(proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar
dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan
dari penggelapan pajak tersebut. Oleh sebab itulah tindak kejahatan di bidang perpajakan termasuk salah
satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang.
Ringkasan beberapa pasal dalam KUP
yang dikenakan atas tindak pidana perpajakan
Terdapat
banyak bentuk dan modus penggelapan pajak, hal tersebut tertuang dalam pasal 39
ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007.
pasal
39 ayat (1) huruf (d) UU No. 28 Tahun 2007, yang berbunyi: “Setiap orang yang
dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap.” bagi para pelaku dikenakan hukuman yang diatur
pada ayat berikutnya dalam pasal yang sama, yaitu pasal 39 ayat (2).
Pasal
39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud
(Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun
selesai menjalani pidana, melakukan lagi tindak Pidana.
Pasal
39A :” Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan
/atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur
pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2
Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur
pajak atau Potput atau SSP”.
Pasal
41A : “Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila
dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan
keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak,
kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya”.
(Pasal
35 ayat (1) UU KUP) : “Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan
atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)”.
Pasal 41B : “menghalangi/mempersulit penyidikan,
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)”.
Pasal
41C : Tidak memberikan data/informasi . “Setiap instansi pemerintah, lembaga,
asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan
dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak”.
(Pasal 35 ayat (1) UU KUP) jika setiap orang
dengan sengaja tidak memenuhinya, diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
Pasal
36A: Pegawai Pajak yang terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada
Wajib Pajak, menguntungkan diri sendiri, diancam dengan pidana Pasal 368 KUHP.
diancam dengan pidana Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tipikor dan perubahannya.
Kasus Penggelapan Pajak
Kasus
Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
PT
Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup
Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan
kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).
Terungkapnya
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto
(Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta
pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group
financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya.
Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro
Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting
perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara
Vincent dan wartawan Tempo.
Pada
tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan
permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan
dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross
Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar
2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG
secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit
mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di
luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali
ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri
bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang
menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan
Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan
tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut
terkait erat dengan perpajakan. Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution,
kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan
intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian
penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di
Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan
hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun
pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan
transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5
triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil
penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan
pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan
SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan
terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan
negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari
rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK,
AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus,
direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen
Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya
kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo
– baik koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks
pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap,
mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower.
Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan,
aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle
blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang –
karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT
AAG.
Solusi penyelesaian
Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?
PT
Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax
evasion)selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian
negara senilai trilyunan rupiah.
peraturan
perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana
penjara dan denda yang cukup berat, akan tetapi nyatanya masih ada celah hukum
untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan.
Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi
tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas
permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan
demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan
kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa
denda.
Jadi,
penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori
“Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar
sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri
Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses
penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Tidak
Hanya Urusan Pajak
Menilik
modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya
perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan
terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian
uang (money laundering).Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri
Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana
pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri
sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara
untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari
kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat
menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian
Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban
pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius,
Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa
sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur
Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang biasa
dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan
oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus
Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang
tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV,
8/1/2008).
kasus
Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari situ tergambar,
sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha
menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang
kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara
mengorbankan orang yang lemah.Persepsi itu muncul setelah petugas Kepolisian
Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri,
salah satu perusahaan milik taipan superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini
diperkirakan merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat bersemangat mengusut
Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan perusahaan itu, hingga
akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus lalu. Padahal justru dialah yang
membongkar dugaan penggelapan pajak dan money laundering oleh Asian Agri.
Pemerintah mestinya berterima kasih kepada mereka.
Jika
kasus ini segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara yang bisa
diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan
penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak
tercapai.Tidak sewajarnya polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka
seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian uang yang dilakukan Asian
Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil "penghematan" pajak
ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya diprioritaskan dibanding
membidik orang yang justru membantu membongkar dugaan penggelapan pajak.
Sumber
: